visit indonesia

visit indonesia

Selasa, 24 Juli 2012

Titi gantung



KONSEP Medan sebagai kota metropolis yang memiliki infrastruktur tidak sekedar  akses bagi kepentingan hidup masyarakatnya tanpa meninggalkan nilai estetika yang memiliki daya tarik sehingga dapat menghibur warga kota ternyata telah dimulai sejak 125 tahun lalu.

Infrastruktur tersebut dibangun tidak hanya sekedar penghubung antara kawasan bisnis di sekitar Lapangan Merdeka dimana berada De Javasche Bank, Hotel De Boer dan Kesawan dengan pemukiman padat masyarakat di sekitar Jalan Jawa tanpa menggangu jalur sibuk perlintasan kereta api di stasiun besar saat itu.

Sejarawan nasional dan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pusis Unimed), Phil Ichwan Azhari, mengatakan dari bentuk arsitekturnya, Titi Gantung jelas dibangun tidak hanya sebagai sarana infrastruktur semata.

Kondisi kontsruksi yang kokoh dibangun berliku serta dilengkapi ornamen yang indah bergaya populer saat itu menjadi tempat perlintasan masyarakat berjalan kaki dan bersepeda sambil melihat kereta api di stasiun besar dan suasana lapangan Merdeka yang sering menjadi pusat keramaian kala itu, sebutnya.

Melihat kondisi saat itu, Titi Gantung jelas tidak dibangun hanya sekedar sebagai infratsruktur yang memudahkan akses masyarakat di kawasan kota saat itu, sehingga keberadaany memiliki tiga fungsi, katanya.

Fungsi tersebut, lanjut Ichwan, yakni sebagai akses penghubung masyarakat dari kawasan pemukimannya ke tempat keramaian dan pusat bisnis, perlintasan tanpa menggangu jalur kereta api dan sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat kota.

Namun dari waktu ke waktu keberadaan Titi Gantung juga mengalami berbagai fase, diantaranya pernah menjadi tempat pusat buku bekas di Medan yang kemudian di tata dan saat ini mulai dipoles kembali oleh pemerintah kota, sebutnya.

Sedangkan berbagai bangunan dan ruang yang berada di bawah dan sekitar Titi Gantung saat ini dijadikan berbagai tempat usaha masyarakat sperti berjualan dan lainnya, pada masa lalu merupakan sarana tempat barang-barang angkutan kereta api, ujarnya.

Kawasan Lapangan Merdeka saat itu disamping berfungsi sebagai pusat keramaian kota di mana berbagai acara pemerintah dan kegiatan besar masyarakat saat itu dilaksanakan, juga berhadapan langsung dengan fasilitas perbankan terbesar saat itu yakni De Javasche Bank yang  menjadi Bank Indonesia Medan.

Disamping itu juga berdiri fasilitas hiburan dan kegiatan bisnis lainnya seperti Hotel De Boer (Dharma Deli) serta kegiatan pemerintah lainnya seperti Kantor Pos saat ini serta kawasan Kesawan dengan pusat pertokoannya saat itu.

Titi Gantung merupakan satu-satunya infrastruktur yang dibangun pemerintah saat itu sebagai akses dari kawasan pemukiman padat masyarakat di sekitar Jalan Jawa, dan Pusat Pasar ke pusat bisnis dan keramaian di sekitar Lapangan Merdeka, sebut Ichwan.    

Pihaknya sebagai peneliti sejarah mengatakan sangat peduli terhadap keberadaan Titi Gantung dan akan segera mengusulkan kepada Bappeda agar Pemko Medan bersama PT KAI membangun museum kereta api di sekitar ruang bawah Titi Gantung untuk menghidupkan suasana agar keberadaannya kembali menarik perhatian masyarakat.

Diantaranya dengan menata kembali lokomotif tua yang dipajangkan saat ini sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat pengunjung museum, pemajangan replika model lokomotif tua yang pernah beroperasi saat ramainya bisnis perkebunan di Sumatera Timur, tuturnya.

Dari sejumlah literatur, titi yang punya nilai historis dan pernah dijadikan bursa buka bekas murah ini dibangun oleh Deli Spoorweg Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Belanda) tahun 1885.

Titi Gantung dibangun melintasi jalur rel kereta api tepat berada di sebelah Stasiun Kereta Api Medan saat ini. Uniknya sebutan Titi Gantung untuk jembatan penyeberangan di atas rel itu lebih karena masyarakat Medan menyebutnya begitu saja.

Hingga saat ini sebutan polos tersebut menjadi nama populer untuk jembatan penyeberangan jalur kereta api yang masih serinmg dikunjungi sebagian warga kota untuk sekedar melihat-melihat.



ilyasjalanjalanwisataindonesia

Sabtu, 21 Juli 2012

Menara PDAM Tirtanadi Medan



    Itulah sebabnya mengapa obyek wisata Menara Air Tirtanadi yang terletak di tengah kota Medan ini wajib anda kunjungi jika anda sedang berkunjung ke Kota Medan. Sebab, menara air yang pernah beberapa kali bergonta-ganti kepemilikan ini selain unik juga memiliki nilai sejarah. Dahulu obyek wisata menara air ini dibangun dan dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, khususnya kemerdekaan Indonesia, akhirnya Menara Air Tirtanadi ini menjadi milik PDAM sampai sekarang. Jadi, wajar saja jika anda akan merasa sangat menyesal jika sudah berkunjung ke Medan namun belum mengunjungi menara air yang sudah memenuhi persediaan air penduduk selama kurang lebih satu abad ini.

    Menara Air ini tingginya 42 meter dan beratnya 330 ton. Alamatnya di Jln. Sisingamangaraja No. 1 yang terletak di perempatan Jalan Sisingamangaraja-Jalan Pandu-Jalan Cirebon-Jalan Hj. Ani Idrus. Letaknya tidak jauh dari hotel Soechi Novotel. Cukup mudah dijangkau karena terletak di tengah kota medan. Anda bisa naik angkot, bemo, ataupun Becak Motor untuk menuju lokasi ini.
ilyasjalanjalanwisataindonesia


Rabu, 18 Juli 2012

Gedung Balai Kota Medan



     Gedung Balai Kota Medan sudah berdiri sejak 1906 dan hingga kini bangunan ini masih terlihat kokoh. Bangunan yang terletak di pusat Kota Medan ini pernah mengalami perbaikan pada tahun 1923. Usianya yang lama membuat bangunan ini menjadi salah satu tempat wisata sejarah di Kota Medan.

     Desain klasik dan memiliki fungsi yang sangat penting pada masa lalu membuat bangunan ini memiliki nilai sejarah tersendiri. Tempat ini sempat lama menjadi kantor walikota. Sedikitnya 12 walikota pernah berkantor disana, terhitung walikota yang pertama tahun 1945 Mr.Luat Siregar sampai yang terakhir berkantor disana adalah tahun 1990 H.Agus Salim Rangkuty.

     Keaslian bangunan hingga kini masih tetap dipertahankan. Meski bukan menjadi Gedung Balai Kota seperti dahulu, tapi kini tempat ini lebih terawat. Sejak tahun 2005 bangunan ini dikelola oleh Grand Aston Hotel.

     Hotel ini berada di lokasi paling strategis, yaitu di titik nol kilometer Kota Medan. Hotel ini memiliki konsep yang sama sekali berbeda dengan hotel lainnya. Hotel satu-satunya yang terintegrasi dengan heritage (warisan sejarah).

     Kemudian, Merdeka Walk sebagai pusat jajan yang persis berada di depannya secara tidak langsung bisa dikatakan menjadi daya tarik tersendiri bagi hotel ini. Coba sesekali duduk malam hari di Merdeka Walk sambil memandang hotel ini, seakan terasa berada di suatu tempat paling mewah.





ilyasjalanjalanwisataindonesia

Selasa, 17 Juli 2012

Rumah Tjong A Fie bag 2

     Rumah Tjong A Fie memadukan arsitektur tiga kultur: Melayu, Tionghoa, dan Eropa, hingga kini masih berdiri kokoh di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, Sumatera Utara, dan menjadi penanda akulturasi tiga budaya.
 
     RUMAH besar (mansion) yang dibangun pada 1895 ini memang unik dan memesona. Sentuhan kultur Eropa tampak pada fasad bangunan dengan pilar-pilar besar menjulang. Sedangkan corak Tionghoa tampil pada ukiran kayu yang spesifik di sekujur bangunan, pintu gerbang, dan rancang atap yang khas bangunan rumah di China daratan. Nuansa Melayu terwakili pada warna kuning menyala yang dominan dan jendela-jendelanya yang khas.

     Tjong A Fie dikenal sebagai hartawan asal Guangdong, China, yang menetap di Medan pada awal abad ke-20. Berdiri di atas areal tanah seluas 6.000 meter persegi, bangunan rumah berlantai dua seluas 5.000 meter persegi ini memiliki 40 ruang. Rumah yang kini dijadikan museum dan kafe ini masih tampak megah dan terawat baik.

     Di Medan, nama Tjong A Fie sangat melegenda dan tak terpisahkan dari sejarah kota terbesar dan tersibuk di Pulau Sumatera itu. Selain dikenal sebagai dermawan, dia juga dikenal sebagai donator pembangunan gedung-gedung penting di Kota Medan, termasuk Istana Maimun, istana Kesultanan Deli.
Kawasan Kesawan, tempat rumah Tjong A Fie berada, sejak awal abad ke-20 memang dikenal sebagai pusat perdagangan. Di jalan sepanjang sekira 1 kilometer ini berderet beragam kantor mulai dari perbankan, penerbitan, hingga Perkebunan London Sumatera yang menempati bangunan modern pertama di Medan.
Konon, keluarga Tjong A Fie pernah pindah ke Denmark tahun 1921 dan kembali ke Indonesia pada 1930. Selama sembilan tahun, rumah ini dibiarkan kosong. Semula, anak-anak Tjong A Fie kembali mendiami rumah ini. Tetapi, kini tinggal keluarga Fon Prawira yang bertahan.
Menurut Fon Prawira, cucu Tjong A Fie, kakeknya mendiami rumah mewah ini bersama istri ketiganya, Lim Koei Yap, dan tujuh anaknya. Kini, hanya dia bersama keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Fon Prawira sendiri, menurut pengakuannya, merupakan anak dari Ching Kweet Leong, anak keempat sang dermawan. (Christian Heru)











ilyasjalanjalanwisataindonesia

Senin, 16 Juli 2012

Masjid Raya Medan



     Mesjid Raya Al-Mashun atau yang sering kita dengar Majid Raya Medan adalah salah satu warisan Sultan Deli di Sumatera Utara selain Istana Maimoon. Masjid ini masih dipergunakan oleh masyarakat Muslim untuk berdoa setiap hari. Beberapa bahan bangunan untuk dekorasi masjid ini dibuat di Italia. Wisatawan asing mengunjungi masjid dari berbagai Negara di seluruh dunia. Masjid Agung ini merupakan masjid paling indah dan terbesar di Sumatera Utara. Sultan Makmun Al Rasyid masjid ini dibangun pada tahun 1906. Masjid Agung ini terletak hanya 200 m dari Istana Maimoon.

     Gaya Moor terinspirasi arsitektur khusus masjid. Masjid Agung lain Medan, ada sebuah masjid untuk warisan kesultanan Deli. Labuhan Deli yang dibangu pada tahun 1886. Masjid Labuhan adalah salah satu masjid dengan gaya India yang unik dengan kubah segi delapan. Masjid Labuhan terletak di jalan raya Medan – Belawan sebelah utara dari pusat kota Medan.

     Kubah Masjid Al Ma’sum yang berbentuk segi empat datar dan juga di puncak atap memiliki dekorasi bulan sabit biasa juga ditemukan pada bangunan Islam lainnya seperti Mesjid dan menara yang menurut para ahli sering dihubungkan sebagai symbol kedamaian, dimana Islam disiarkan tanpa kekerasan. Selain kubah, rencana, kurva (arcade), hiasan bulan sabit pada puncaknya, pengaruh seni Islam jelas terlihat dalam ornamentasi, baik di dinding, langit-langit, tiang, dan permukaan melengkung (wajah Arcade) yang kaya dekorasi bunga dan tanaman berliku dicat dengan cat minyak. Ini dekorasi floristik selain ditata mengingatkan untuk Tumpal dan motif mekara, juga melukis dengan gaya naturalistic, kecuali motif bunga dan motif geometris, kombinasi antara Polygonal, Oktagonal dan dekorasi lingkaran juga menarik. Motif semacam ini terutama sangat banyak ditemukan di dinding, permukaan melengkung, langit-langit dll, motif ini juga ditemukan dalam bentuk tirai besi jendela segi empat dan bentuk kurva yang mengingatkan kita untuk motif ukiran dinding gaya India. Di Indonesia, jenis dekorasi sering disebut hiasan Terawangan atau Kerawangan, selain sebagai hiasan, hiasan ini juga berfungsi sebagai ventilasi.

Lokasi Masjid Raya Al Mashun Medan:

     Sisi timurMasjid Raya Al Mashun menghadap ke Jalan Sisingamangaraja sedangkan sisi utaranya menghadap ke Jalan Masjid Raya. Letaknya yang demikian membuat beberapa orang menulis alamat masjid ini berada di Jl. Sisingamangaraja yang lain nya menuliskannya berada di Jl. Masjid Raya. Namun yang pasti Masjid Raya Al Mashun ini berada di pusat kota Medan, tak jauh dari Istana Maimun yang sama sama peninggalan Kesultanan Melayu Deli.

Berdirinya Masjid Raya Al Mashun Medan

     Di tahun 1728 Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, ke Kampung Alai [Labuhan Deli] Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Masjid Al Osmani yang merupakan masjid Kesultanan bagi Kesultanan Deli dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-8) masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi sejarah kesultanan Melayu Deli.

     Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (Sultan Deli ke-9) kemudian memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar [pusat kota medan]. Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, ketika Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada tahun 1863 untuk ditanami tembakau Deli.

     Di ibukota pemerintahan baru ini Kesultanan Deli berkembang pesat, setelah Deli lepas sama sekali dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1861. Meski masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam kemudian membangun Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.

     Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

     Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun di rancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis. Mesjid Raya sedikit berbeda dengan masjid pada umumnya karana tidak banyak kaligrafi sini namun banyak terdapat ukiran bunga dan tanaman yang keseluruhanya di cat.

Arsitektural Masjid Raya Al Mashun

     JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

     Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.

     Gang - gang ini punya deretan jendela - jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang mesjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.

 

ilyasjalanjalanwisataIndonesia

Rumah Tjong A Fie


     Rumah Tjong A Fie adalah sebuah warisan rumah besar yang terletak di Jalan Ahmad Yani. Rumah ini berasal dari nama pemilik rumah ini. Tjong A Fie (1860-1921) adalah seorang banker yang dating dari Cina dan berhadil membangun bisnis perkebunan besar, pabrik kelapa sawit, pabrik gula, perusahaan kereta api di sekitar Medan, seorang pengusaha yang memiliki lebih dari 10.000 karyawan. Tjong A Fie tertutup kepada masyarakat, Sultan Deli dan Kolonial Belanda. Pada tahun 1911, ia diangkat menjadi Kapitan Cina atau Mayor der Chinezeen (istilah Belanda) yang berarti wakil tertinggi masyarakat Tionghoa di Medan. Tjong A Fie adalah symbol sukses cerita imigran Cina di hari Deli perintis. Ia berasal dari Kanton pada tahun 1875, dengan beberapa potong dijahit perak pada sabuknya dan membuat kekayaannya di Pantai Timur Sumatera dalam waktu singkat dalam industri perkebunan. Pada saat dia meninggal pada tahun 1921, Tjong A Fie telah menjadi tokoh legendaris. Di Penang, ada Cheong Fatt Tze Mansion yang terlihat persis sama sama dengan tinggal Tjong A Fie. Cheong Fatt Tze adalah paman Tjong A Fie. Kedua nya bekerja sama dalam banyak bisnis dan Tjong A Fie membangun rumah menyerupai pamannya. Rumah di Penang telah dibuat menjadi sebuah hotel yang bersejarah.

     Rumah Tjong A Fie dibangun pada tahun 1895 dan selesai pada tahun 1900. Memiliki ukiran kayu yang cantik dan fitur dengan dua singa batu duduk di pintu masuk. Memiliki 40 kamar, dalam campuran gaya China, Melayu dan Eropa. Pengaruh arsitektur Melayu dapat dilihat dalam deretan jendela, pintu, dinding dan itu dicat dengan warna kuning dan hijau. Pengaruh Cina dapat dilihat dalam ornamen ukiran dan lukisan di langit-langit. Disandingkan dengan desain oriental keseluruhan elemen desain Eropa dan Art Nouveau termasuk kolom beton dengan modal hias, dan chandelier  tergantung dari langit-langit. Berdiri di samping ornamentasi Barat ini adalah sebuah altar leluhur tradisional Cin, ukiran dan pintu kayu disepuh kerrawang, dan chien nien porselen bekerja penuh warna. Di dalam Rumah Tjong A Fie, kita jatuh seolah-olah kita sudah kembali pada pergantian abad terakhir.

     Memasuki rumah peninggalan Tjong A Fie ini, kita akan disambut sepasang patung singa yang berdiri di depan pintu rumah. Halaman rumah tersebut sangat luas dengan berbagai macam tanaman bunga. Masuk ke dalam rumah, kemegahan konglomerat Cina jaman dulu ini masih tersisa. Barisan foto-foto yang dipajang di ruangan tamu bisa bercerita banyak. Ada beberapa foto Tjong A Fie dengan Sultan Deli, penguasa Tanah Deli saat itu. Juga pose Tjong A Fie di beberapa bagian rumahnya yang penuh dengan barang-barang antik dari Cina. Sayang, kini barang-barang seperti lemari dan kursi-kursi antik itu sudah tidak ada lagi.Cucu-cucu Tjong A Fie, katanya, menjual barang-barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bangunan kuno bersejarah peninggalan Tjong A Fie memang kurang terurus. Mungkin karena desakan pengembangan kota Medan, rumah Tjong A Fie juga jadi tak nyaman lagi dipandang. Pagar besi dan pintu kayu setinggi 10 meter yang membentengi rumah sudah berhimpitan langsung dengan jalan raya. Tak menyisikan bahu jalan sedikitpun.

     Alamat rumah Tjong A Fie adalah di Jalan Kesawan Medan. Sangat mudah mencari rumahnya karena semua orang di Medan tau letak rumah Tjong A Fie.

ilyasjalanjalanwisataindonesia

Sabtu, 14 Juli 2012

Istana Maimun Medan nan Elok



   Istana Maimun adalah salah satu dari ikon kota Medan, Sumatera Utara, terletak di kelurahan Sukaraja, kecamatan Medan Maimun.
     Didesain oleh arsitek Italia dan dibangun oleh Sultan Deli, Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada 1888, Istana Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan.
     Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan gaya Islam, Spanyol, India dan Italia, namun sayang keadaanya kurang terurus sekarang. Jika kita melewati tempat ini pada sore hari, kita bahkan bisa melihat anak-anak bermain sepak bola di halaman istana ini.
     Istana Maimun terdiri dari dua lantai yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bangunan utama, sayap kiri, dan sayap kanan. Di depan istana maimun ini sekitar 100 meter, berdiri Masjid Al-Maksum yang dikenal sebagai Masjid Raya Medan. Di ruang tamu (balairung) Anda akan menghadapi tahta yang didominasi oleh warna kuning. Crystal menyalakan lampu tahta, bentuk pengaruh budaya Eropa. Pengaruh yang sama muncul pada perabotan istana seperti kursi, meja, toilet dan lemari dan pintu.
     Ada hal menarik mengenai Istana Maimun ini. Di komplek istana terdapat berbagai jenis senjata dan meriam buntung yang memiliki cerita legenda sendiri. Orang-orang Medan menyebut meriam ini dengan sebutan Meriam Puntung.
     Sekilas saya jelaskan legenda meriam puntung,agar pembaca tidak bertanya-tanya apakah meriam puntung itu,
     Menurut legenda, dahulu di Kesultanan Deli Lama, sekira 10 km dari Medan, hidup seorang putri nan cantik bernama Putri Hijau. Kecantikan sang putri ini tersebar sampai telinga Sultan Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa. Sang pangeran jatuh hati dan ingin melamar sang putri. Sayang, lamarannya ditolak oleh kedua saudara Putri Hijau, yakni Mambang Yazid dan Mambang Khayali. Penolakan itu menimbulkan kemarahan Sultan Aceh.
     Maka, lahirlah perang antara Kesultanan Aceh dan Deli. Konon, saat perang itu seorang saudara Putri Hijau menjelma menjadi ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang terus menembaki tentara Aceh. Karena menembak terus menerus, meriam itu panas berlebihan sehingga pecah (puntung). Sisa “pecahan” meriam itu hingga saat ini ada di dua tempat, yakni di Istana Maimun, dan di Desa Sukanalu (Tanah Karo).
Pecahan di Istana Maimun disimpan di rumah ala Karo yang terdapat di halaman sebelah kanan istana Maimun. Kenapa dibangun sebuah rumah Karo, itu karena leluhur raja-raja Deli memiliki darah Batak Karo juga selain darah dari India.
Bagi pengunjung yang merasa khawatir memikirkan tempat bermalam, tidak perlu khawatir, karena terdapat Hotel-hotel berkelas seperti Hotel Madani, kemudian 390 m dari Istana terdapat Danau Toba International Hotel, dan 1,1 km dari istana maimun terdapat Hotel Soechi Internasional dan masih banyak lagi hotel-hotel yang bisa menjadi tempat penginapan anda dekat dengan Istana maimun.
Nah para sobat pembaca, Istana Maimun adalah Ikon Kota Medan dan warisan sejarah yang harus dijaga. Semoga pemerintah kota setempat bisa membantu dengan merenovasi Istana Maimun menjadi lebih baik dan lebih indah lagi sehingga banyak wisatawan lokal dan Wisatawan Mancanegara yang berkunjung ke kota Medan dan mampir berkunjung ke Istana Maimun agar Medan lebih dikenal dengan kota yang akan objek wisata yang bersih, bersejarah, indah dan menarik.

Alamat Istana Maimun:
Jl. Brigjen Katamso, Medan

Buka setiap hari dari jam:
08.00- 18.00 WIB

Sumbangan masuk:
Rp.5.000 – 10.000.

jalanjalanindonesia