visit indonesia

visit indonesia

Selasa, 24 Juli 2012

Titi gantung



KONSEP Medan sebagai kota metropolis yang memiliki infrastruktur tidak sekedar  akses bagi kepentingan hidup masyarakatnya tanpa meninggalkan nilai estetika yang memiliki daya tarik sehingga dapat menghibur warga kota ternyata telah dimulai sejak 125 tahun lalu.

Infrastruktur tersebut dibangun tidak hanya sekedar penghubung antara kawasan bisnis di sekitar Lapangan Merdeka dimana berada De Javasche Bank, Hotel De Boer dan Kesawan dengan pemukiman padat masyarakat di sekitar Jalan Jawa tanpa menggangu jalur sibuk perlintasan kereta api di stasiun besar saat itu.

Sejarawan nasional dan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pusis Unimed), Phil Ichwan Azhari, mengatakan dari bentuk arsitekturnya, Titi Gantung jelas dibangun tidak hanya sebagai sarana infrastruktur semata.

Kondisi kontsruksi yang kokoh dibangun berliku serta dilengkapi ornamen yang indah bergaya populer saat itu menjadi tempat perlintasan masyarakat berjalan kaki dan bersepeda sambil melihat kereta api di stasiun besar dan suasana lapangan Merdeka yang sering menjadi pusat keramaian kala itu, sebutnya.

Melihat kondisi saat itu, Titi Gantung jelas tidak dibangun hanya sekedar sebagai infratsruktur yang memudahkan akses masyarakat di kawasan kota saat itu, sehingga keberadaany memiliki tiga fungsi, katanya.

Fungsi tersebut, lanjut Ichwan, yakni sebagai akses penghubung masyarakat dari kawasan pemukimannya ke tempat keramaian dan pusat bisnis, perlintasan tanpa menggangu jalur kereta api dan sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat kota.

Namun dari waktu ke waktu keberadaan Titi Gantung juga mengalami berbagai fase, diantaranya pernah menjadi tempat pusat buku bekas di Medan yang kemudian di tata dan saat ini mulai dipoles kembali oleh pemerintah kota, sebutnya.

Sedangkan berbagai bangunan dan ruang yang berada di bawah dan sekitar Titi Gantung saat ini dijadikan berbagai tempat usaha masyarakat sperti berjualan dan lainnya, pada masa lalu merupakan sarana tempat barang-barang angkutan kereta api, ujarnya.

Kawasan Lapangan Merdeka saat itu disamping berfungsi sebagai pusat keramaian kota di mana berbagai acara pemerintah dan kegiatan besar masyarakat saat itu dilaksanakan, juga berhadapan langsung dengan fasilitas perbankan terbesar saat itu yakni De Javasche Bank yang  menjadi Bank Indonesia Medan.

Disamping itu juga berdiri fasilitas hiburan dan kegiatan bisnis lainnya seperti Hotel De Boer (Dharma Deli) serta kegiatan pemerintah lainnya seperti Kantor Pos saat ini serta kawasan Kesawan dengan pusat pertokoannya saat itu.

Titi Gantung merupakan satu-satunya infrastruktur yang dibangun pemerintah saat itu sebagai akses dari kawasan pemukiman padat masyarakat di sekitar Jalan Jawa, dan Pusat Pasar ke pusat bisnis dan keramaian di sekitar Lapangan Merdeka, sebut Ichwan.    

Pihaknya sebagai peneliti sejarah mengatakan sangat peduli terhadap keberadaan Titi Gantung dan akan segera mengusulkan kepada Bappeda agar Pemko Medan bersama PT KAI membangun museum kereta api di sekitar ruang bawah Titi Gantung untuk menghidupkan suasana agar keberadaannya kembali menarik perhatian masyarakat.

Diantaranya dengan menata kembali lokomotif tua yang dipajangkan saat ini sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat pengunjung museum, pemajangan replika model lokomotif tua yang pernah beroperasi saat ramainya bisnis perkebunan di Sumatera Timur, tuturnya.

Dari sejumlah literatur, titi yang punya nilai historis dan pernah dijadikan bursa buka bekas murah ini dibangun oleh Deli Spoorweg Maatschappij (Perusahaan Kereta Api Belanda) tahun 1885.

Titi Gantung dibangun melintasi jalur rel kereta api tepat berada di sebelah Stasiun Kereta Api Medan saat ini. Uniknya sebutan Titi Gantung untuk jembatan penyeberangan di atas rel itu lebih karena masyarakat Medan menyebutnya begitu saja.

Hingga saat ini sebutan polos tersebut menjadi nama populer untuk jembatan penyeberangan jalur kereta api yang masih serinmg dikunjungi sebagian warga kota untuk sekedar melihat-melihat.



ilyasjalanjalanwisataindonesia